Aku hanya lah seorang pengelana yang berjalan tanpa arah dan tujuan.

Selektif Mengambil Ilmu dan Fatwa

Selama ini dari sumber mana anda mengambil dan mengamalkan agama Islam? Sebuah pertanyaan penting. Perhatikan kenyataan di masyarakat kita! Ada sebagian orang yang hanya mengikuti hal-hal yang ringan dan yang gampang saja, mereka bergembira dengan fatwa-fatwa yang cocok dengan seleranya. Bahkan sebagian mereka jika mendengar fatwa yang cocok dengan hawa nafsunya langsung bergembira dan memuji sang Mufti setinggi langit, “Ini Syaikh benar-benar alim, ini Syaikh yang paham terhadap waqi' (kondisi), dialah obat penawar bagi kaum muslimin dan lain sebagainya.” Dia katakan demikian fatwa itu, meskipun isinya bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah, atau merupakan pembodohan terhadap umat, yang termasuk bentuk meremehkan nash-nash syari'at, atau siasat untuk memilih pendapat yang enteng dan lemah belaka. Pokoknya menurut mereka namanya fatwa, ya fatwa.
Padahal Allah subhanahu wata’ala pada hari Kiamat nanti akan bertanya dengan sebuah pertanyaan,
 “Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, “Apakah jawabanmu kepada para rasul?” (QS. Al-Qashas: 65)
Dia tidak bertanya tentang Syaikh Fulan dan Fulan tetapi tentang ittiba' terhadap Kitab dan Sunnah. Maka sekali lagi perlu ditegaskan pertanyaan, “Apa yang menjadi sumber kita dalam beragama? Apakah setiap orang yang mengenakan jubah dan sorban lalu tampil di televisi, memulai dengan alhamdulillah menutup pembicaraannya dengan wallahu a'lam maka berarti dia seorang mufti? Apakah semua orang dapat kita jadikan sebagai sumber dalam beragama? Sesungguhnya ukuran yang selayaknya digunakan untuk menilai sebuah fatwa adalah kesesuaiannya dengan Kitabullah dan Sunnah. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
 “Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shaad: 26)
Seorang Syaikh menuturkan, "Aku pernah menyampaikan muhadharah (ceramah) di sebuah masjid, lalu salah seorang hadirin mendatangiku dan berkata, "Wahai Syaikh mengapa anda bersikap ketat dalam hal ikhtilat, sedangkan Syaikh Doktor Fulan di dalam siaran televisi mengatakan bahwa ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan wanita itu dibolehkan, baik dalam walimah, dan berbagai acara lainnya jika dengan niat yang baik dan melihat dengan tanpa syahwat.”
 Kemudian di tempat lainnya aku menyampaikan kajian, lalu salah seorang dari hadirin bertanya, “Apa hukum riba?” Maka aku menjawab, “Haram dengan keseluruhan corak dan bentuknya.” Maka dia lalu berkata, “Sesungguhya Syaikh Fulan di televisi mengatakan bahwa riba merupakan salah satu di antara hal yang darurat di masa kini, sehingga ia tidak mengapa.” Ada pula yang datang kepadaku bertanya tentang hukum musik, aku jawab: “Haram”. Namun dia berkata, “Syaikh fulan telah berfatwa bahwa musik hukumnya halal.”
Janganlah anda menjadikan agama anda sebagai bahan permainan bagi orang yang ingin merendahkan atau merusaknya, karena anda akan dihisab dan ditanya sendirian, “…Dan berhati-hatilah, jangan sampai anda menjadi salah seorang pengikut pemimpin yang menyesatkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Sesungguhnya aku mengkhawatirkan atas ummatku pemimpin-pemimpin yang menyesatakan (al-aimmah al-mudhillin).” (HR. At-Tirmidzi dan Ad-Darimi) Inti permasalahannya adalah bahwa: “ucapan para pemberi fatwa yang menggampang-gampangkan agama (bukan pada tempatnya) tidak akan laku kecuali bagi orang-orang yang bodoh.” Adapun orang yang berakal tentu tidak akan mengikuti omongan setiap orang, tanpa menyeleksinya lebih dahulu.
 Ada baiknya mari kita sama-sama menyimak dua perumpamaan berikut ini:
Pertama; Ada seorang yang bernama Ghayats bin Ibrahim, ia dikenal pendusta dan suka mengarang hadits, namun berpenampilan layaknya ahli ilmu. Dia disangka sebagai seorang yang banyak menghafalkan dan meriwayatkan hadits. Dia juga dikenal tampan dan bagus tutur katanya, sehingga orang-orang berdatangan dan berkumpul di sekelilingnya untuk mendengarkan ucapannya yang sungguh mengagumkan, dan merekapun membenarkan apa saja yang dia ucapkan. Pada suatu hari ada seseorang melihatnya melakukan perbuatan yang tidak pantas, maka orang tersebut menegurnya, “Apakah engkau tidak malu kepada orang-orang? Maka Ghayats menjawab, “Orang mana yang kau maksudkan? Lalu dia jawab, “Orang-orang yang berkumpul untuk mendengarkan ceramahmu.” Ghayats lalu menjawab, “Oh orang-orang itu yang kau maksudkan, mereka itu sebenarnya bukanlah manusia tetapi sapi. Jika kamu ingin membuktikan ucapanku ini mari ikutlah aku!” Keduanya kemudian berangkat bersama, lalu duduklah Ghayats dalam majlisnya, dia pun berbicara kepada orang-orang yang hadir tentang surga, segala sifat dan kelezatannya, sedangkan orang-orang diam mendengarkan dengan khusyu'. Tatkala melihat sikap orang-orang tersebut, terlintaslah di dalam benaknya untuk mengarang sebuah hadits, lalu dia pun berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk menjilat ujung hidungnya dengan lidahnya maka dia akan masuk surga.” Mendengar penuturan Ghayats demikian, maka spontan orang-orang yang hadir pun menjulurkan lidahnya dan berusaha untuk menyentuhkannya ke ujung hidung mereka masing-masing. Maka Ghayats lalu menoleh kepada laki-laki yang menemaninya tersebut seraya berbisik, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa mereka semua adalah sapi?”
Sedangkan pelajaran yang ke dua adalah sebagai berikut:
Ada seseorang yang diklaim memiliki ilmu yang sangat banyak, dan dia dikenal bisa menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan kepada-nya, tidak pernah sekalipun terucap dari mulutnya, “Aku tidak tahu” namun dia selalu dapat mencari-cari jawaban dan mengarang dalil untuk jawabannya tersebut lalu mengemukakannya di hadapan manusia.
Maka beberapa orang yang dikenal cerdik pun berkumpul dan mereka berkata, “Orang ini kalau bukan seorang yang paling pandai di dunia maka dia hanyalah seorang yang memanfaatkan orang-orang yang bodoh di antara kita.” Mereka akhirnya bersepakat untuk menguji orang tersebut dengan sebuah pertanyaan. Caranya adalah dengan menyusun sebuah kata yang terdiri dari enam huruf secara acak (yakni khanfasyar), lalu mereka datang kepada orang tersebut seraya mencium kepalanya dan memberikan penghormatan. Mereka berkata, “Wahai Syaikh, kami ingin bertanya, kami semua mendapatkan kesulitan dan ingin jawaban yang jelas dari anda.”
Maka Syaikh ini menjawab, “Kalian semua datang kepada orang yang tepat dan ahlinya, ada apa dengan kalian? Kalian semua saling cekcok padahal aku masih hidup?
Orang-orang berkata, “Apakah yang dimaksudkan dengan khanfasyar itu? Maka Syaikh menjawab, “Khanfasyar yaitu sejenis tanaman yang tumbuh di bagian selatan Yaman, ada rasa pahit pada tanaman tersebut, dan jika dia dimakan oleh unta maka susunya menjadi tertahan di bagian teteknya. Tanaman tersebut sering digunakan oleh para pedagang unta untuk mengelabuhi orang, tujuannya agar para pembeli menyangka bahwa unta tersebut menghasilkan susu yang melimpah, padahal tidak demikian.
Lalu Syaikh ini duduk sambil bersandar atau bertelekan, kemudian melanjutkan pembicaraannya, “Khan-fasyar masyhur di kalangan orang Arab, mereka menyebutkannya di dalam syair-syair mereka, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah menjelaskan di dalam sunnahnya. Seorang penyair telah berkata, mencandai kekasihnya,
Rasa cintaku kepadamu telah menawan hatiku.  Sebagaimana khanfasyar telah menahan air susu.
Lalu Syaikh ini berdehem dan melanjutkan pembicaraannya, “Adapun dalil dari sunnah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.......
Belum selesai Syaikh ini melanjut-kan bicaranya orang-orang segera memutusnya, dengan nada tinggi mereka berkata, “Cukup, cukup!” Bertakwalah engkau kepada Allah hai pendusta! Engkau telah berdusta dengan bahasa Arab, engkau telah berdusta dengan syair dan engkau pun masih ingin berdusta dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka orang tersebut akhirnya diusir dari tengah-tengah mereka.
Oleh karena itu janganlah kita menjadikan agama sebagai bahan permainan setiap orang, yang bisa dipermainkan sesuka hati. Seorang mufti harus memenuhi dua persyaratan, yaitu berilmu dan wara'. Berilmu maksudnya paham dan mampu mengambil dalil secara benar dari nash-nash al-Qur'an dan Sunnah sedangkan wara' yaitu takut kepada Allah subhanahu wata’ala di dalam berfatwa, dan tidak tertipu oleh iming-iming harta atau kehormatan, tetapi berkata yang haq dan tidak takut dicela oleh orang yang mencela. Demikianlah ciri-ciri ulama rabbaniyyin yang keberadaan mereka kini sudah semakin langka. (Kholif Muttaqin)
Sumber: Hal tabhatsu 'an wazhifah? Dr. Muhmammad bin Abdur Rahman al Arifi, hal 54-56.
Panduan Untuk Musafir
Ditengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan cobalah sisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak; Apa niat dan tujuan kepergian Anda? Jika niat kepergian Anda adalah baik maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , artinya: "Barangsiapa yang berkeinginan untuk melakukan suatu kebaikan namun belum sempat menunaikannya maka Allah mencatat untuknya satu kebaikan yang utuh." (HR Al Bukhari). Jikalau yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya hati-hati dan waspada, karena Nabi telah menjelaskan bahwa dunia ini untuk empat golongan orang:
Pertama, hamba yang diberi oleh Allah harta dan ilmu lalu ia berhati-hati dan bertakwa kepada Rabbnya, menyambung silatur rahim dan ia tahu bahwa Allah memiliki hak atasnya, dan inilah kedudukan termulia seorang hamba
. Kedua, hamba yang diberi oleh Allah ilmu namun tidak mendapat limpahan rizki, namun ia punya niat yang benar dengan mengatakan: "Jika Allah memberiku harta maka akan kugunakan untuk amal kebaikan sebagaimana si fulan, maka ia mendapat pahala sebagaimana orang yang pertama.
 Ketiga, hamba yang diberi limpahan rizki oleh Allah tetapi ia tidak mendapatkan ilmu sehingga ia menghabiskan hartanya dengan tanpa ilmu dan tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak mau menyambung silatur rahim dan tidak tahu bahwa Allah memiliki hak atas hartanya, maka inilah kedudukan terburuk seorang hamba.
Keempat, hamba yang tidak diberi oleh Allah harta maupun ilmu, ia mengatakan: "Andaikan akukaya seperti si fulan maka aku akan (berfoya-foya) seperti yang ia kerjakan, sedangkan dia tetap dalam niatnya maka dosa keduanya adalah sama.
Jenis-jenis safar
Bepergian atau safar ada tiga macam:
Safar yang terpuji, bisa jadi ia adalah wajib seperti pergi haji bagi yang mampu, belajar menuntut ilmu, keluar dari negeri kafir menuju negeri muslim dan lain-lain. Mungkin juga ia adalah mustahab (dianjurkan) seperti mengunjungi kerabat dan orang alim atau sesuatu yang mubah seperti untuk urusan kerja agar kebutuhannya tercukupi.
Safar yang dibenci (makruh), seperti keluar dari suatu negeri yang sedang terserang wabah.
Safar yang tercela dan dilarang seperti pergi dalam rangka mendurhakai orang tua atau bepergian untuk tujuan jahat dan kerusakan.
Ada seorang alim ditanya tentang safar yang paling utama, maka beliau menjawab: "Yaitu yang paling membantu dalam urusan agama (ketaatan). "
Siapa teman Anda dalam safar?
Sendirian dalam safar merupakan perkara yang tercela dan dibenci, karena hal itu berbahaya untuk urusan agama maupun dunia seperti terhalang-nya untuk shalat berjama'ah, munculnya perasaan gelisah dan kesal, kemung-kinan marabahaya, dan rasa sepi karena tanpa teman.
 Dalam hal memilih teman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memberikan gambaran yang jelas yaitu dengan sabdanya, yang artinya: "Perumpamaan teman duduk yang baik dan yang buruk diumpamakan seperti penjual minyak wangi dengan peniup pande besi." (Muttafaq alaih)
 Dalam hadits yang lain Rasulullah juga pernah bersabda, artinya: "Sese-orang sangat bergantung erat dengan kondisi agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kamu melihat dengan siapa ia berteman." (HR At Tirmidzi dengan menyatakan hasan hadits ini).
 Dengan memegang erat nasehat Nabi ini diharapkan kita tidak termasuk golongan orang yang menyesal kelak dihari kiamat gara-gara salah memilih teman, ia mengatakan : "Wahai sungguh celaka aku, kalau saja aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai sahabatku tentu nasibku tak akan begini.
 Safar ke negara kafir
Safar melancong ke negara kafir menurut Syaikh Abdur Rahman Al Jibrin jika tujuannya hanya sekedar tamasya dan wisata merupakan hal yang dibenci agama dan tidak sepantasnya dilakukan karena sangat banyaknya fitnah dan bahaya. Sedangkan jika untuk tujuan dakwah, taklim, menyebarkan agama dan nasehat merupakan perkara mustahab (disukai dan dianjurkan) dan pelakunya akan memperoleh pahala karena telah menampakkan syi'ar Islam dan ketinggiannya. Adapun untuk urusan perdagangan dan bisnis maka ia mubah dengan syarat mampu memperlihatkan identitas keislamannya, berpegang teguh dengan ajaran Islam. Jika tidak mampu komitmen dengan ketentuan tersebut bahkan terbawa arus seperti mengikuti adat dan mode kafirin, meninggalkan shalat jama'ah dan adzan (padahal rombongan), mencukur jenggot dan terkesan rela terhadap kekufuran, kemusyrikan maupun kemungkaran karena ketidakberdayaan, maka yang demikian hukumnya menjadi haram walaupun untuk tujuan berdagang.
Tak henti-hentinya orang kafir memasang iklan, menyebar pamflet dan brosur
mempropagandakan agar kaum muslimin dan putra-putrinya melancong ke negeri mereka entah itu dengan alasan studi maupun sekedar untuk mengisi liburan.
Diantara tujuan mereka yang terpenting dari program ini adalah:
Untuk menyelewengkan dan menyesatkan remaja kaum muslimin.
Merusak moral dan menjerumuskan mereka ke dalam kehinaan denga cara menyediakan sarana dan media yang merusak yang bisa diperoleh dengan mudah di sembarang tempat. Menanamkan keraguan dalam bidang akidah dan keimanan.
Menanamkan jiwa kagum terhadap penampilam kaum kafir.  Mendorong orang Islam agar mayoritas tingkah lakunya mengikuti budaya kafir dan adat mereka yang buruk.
Membiasakan untuk tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam, tidak mau memperhatikan adab dan perintah - perintah agama.  Mengkader para pemuda muslim agar menjadi corong untuk mempropagandakan negeri mereka yang kafir, sehingga setelah kembali dari peran-tauan atau bepergian jadilah orang yang kenyang dengan pemikiran kafir, adat kebiasaan mereka, sistim kerja dan bisnis mereka.[
Tempat tempat yang seharusnya dihindari
Jangan sampai kita memasuki tempat-tempat yang dapat menyeret kepada perbuatan dosa seperti: Pentas Musik dan sejenisnya, tempat yang terjadi ikhtilat (campur baur bebas pria wanita), diskotik pub dan semisalnya serta bioskop-bioskop juga tempat kemaksiatan lain secara umum.
 Cobalah kita tanya diri kita tentang tempat-tempat tersebut:
Adakah didalam tempat-tempat tersebut wajah-wajah sejuk dan indah yang dapat mengingatkan kita kepada Allah?
Apakah kita senang jika kematian menjemput sedangkan kita berada dalam tempat tersebut?Bukankah banyak tempat maksiat yang mendadak terbakar dan menelan korban, terjadi ribut dan perkelahian dan sebagainya?
Apakah jika anak-anak kita memasukinya dia disana akan belajar birul walidain dan adab kepada orang tua?
Apakah ditempat-tampat tersebut diajarkan keluhuran budi dan akhlak yang baik?
Apakah kita senang jika dalam lembaran amal kita tertulis bahwa dulu semasa didunia kita sering memasuki tempat-tempat itu?
Jangan lupa bahwa dikanan kiri kita ada malaikat yang mencatat seluruh amal perbuatan yang kita lakukan.
Petunjuk Penting
Sebaiknya melakukan istikharah ketika akan menetapkan jenis safar.
Jika telah memperoleh kemantapan hendaknya dimulai dengan taubat dan menjauhi bentuk-bentuk kezhaliman terhadap sesama makhluk. Jika punya hutang sebaiknya dilunasi dulu, jika belum sempat hendaknya minta izin kepada pihak yang kita hutangi.
Hendaknya minta izin dan doa restu orang tua.
Disunnahkan untuk bersama-sama dengan teman yang lain dan jika bisa lebih dari tiga orang.
Diantara ciri-ciri safar Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
Safar beliau berkisar pada empat hal; untuk hijrah, jihad (dan ini yang terbanyak), untuk umrah dan untuk haji.
Nabi biasa keluar rumah hari Kamis diawal waktu siang.
Berdoa ketika naik kendaraan, bertakbir ketika menaikai tanjakan atau bukit, bertasbih ketika menuruni lembah.
Bersegera kembali kepada keluarga-nya jika keperluan telah selesai, tidak mengagetkan (membangunkan) mereka ketika pulang waktu malam.
Mengqashar (meringkas) shalat yang empat rakaat, dan berbuka ketika safar dibulan Ramadhan.
Mari Bandingkan
Mari bandingkan keadaan kita dengan mereka yang pergi ke kamp-kamp pengungsian untuk memberi bantuan kepada para pengungsi, mencurahkan perhatian dan waktunya untuk membantu saudaranya dalam rangka mencari ridha Allah dan memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada kaum muslimin.
Mari ukur diri kita dengan para relawan yang yang mendatangi negeri-negeri yang sedang dilanda kelaparan lalu ia sumbangkan sebagian hartanya dijalan Allah untuk membantu mengisi kekosongan perut saudaranya.
Bandingkan juga dengan mereka yang pergi dalam rangka dakwah menyeru umat kejalan Allah, menyebarkan ilmu, menumpas kebodohan dengan segenap kemampuan, memberantas kesyirikan dan kesesatan. Alangkah beruntungnya jika kita atau siapa saja yang memiliki kelebihan harta mau bergabung bersama-sama mereka menebar kebaikan dimuka bumi.
Safarnya wanita tanpa mahram
Nabi memperingatkan agar para wanita tidak melakukan safar kecuali bersama mahram. Dalam hadits disebut-kan: Dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahram dan tidak boleh seorang laki-laki masuk (menemuinya) kecuali ia bersama mahramnya." (HR Asy Syaikhan)
Para ulama dan masyayikh berpendapat bahwa larangan safar bagi wanita tanpa mahram sama sekali tidak berkaitan dengan kondisi, jenis safar dan pertimbangan pertimbangan tehnis lainnya, artinya ia merupakan sesuatu yang mutlak. Demikian Wallahu a'lam bish shawab.
 (Disarikan dari bulletin Darul wathan, Lil musafirin)

0 komentar:

Posting Komentar